Thursday, October 28, 2010

Wage Rudolf Supratman...7 Wasiat sebelum wafat...

      Siapa yang tidak kenal lagu Indonesia Raya, kita dan seluruh Rakyat negeri ini pasti sudah tidak asing lagi dengan lagu ini, karena memang ia adalah lagu Kebangsaan kita Rakyat Indonesia, setiap even Kenegaraan, pertemuan organisasi massa, olah raga, dsb.nya, lagu Indonesia Raya pasti berkumandang, bahkan untuk menghormatinya ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya semua pasti dianjurkan untuk berdiri, itu sebagai isyarah sumpah dari yang menyanyikan untuk menegakkan apa yang menjadi isi dari lagu tersebut, disana ada janji untuk cinta tanah air, janji untuk bersatu, janji untuk membangun jiwa dan raga Rakyat Indonesia yang semuanya itu untuk cita-cita Indonesia Raya.

Pada masa penjajahan, lagu ini mampu menggugah semangat patriotisme bangsa Indonesia, mampu menjadi semacam perwujudan persatuan dan kehendak untuk merdeka bagi Rakyat Indonesia, sampai-sampai Belanda sempat melarang penyebutan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan dan bait merdeka merdeka supaya diganti dengan mulia mulia (WR Supratman menyebut lagu ini dengan Lagu Kebangsaan sejak pertama kali diperkenalkan pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928), ini karena saking takutnya pihak Belanda akan bangunnya kesadaran jiwa Bangsa Indonesia yang ditimbulkan dari lagu ini, namun upaya itu tidak menyurutkan nyali dari para pejuang Indonesia untuk tetap menganggapnya sebagai lagu kebangsaan dan tetap menyanyikan lagu Indonesia Raya pada setiap acara-acara resmi, pertemuan-pertemuan penting, dll. hingga akhirnya Indonesia benar-benar bisa meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
 
Namun siapa sangka, sang komponis yang melahirkan lagu yang membangunkan jiwa Bangsa Indonesia ini diakhir hidupnya mengalami nasib yang memprihatinkan, ditempat sempit yang pengap disalah satu ruang dari rumah sang kakak Rukiyem Supratijah, tanpa ada satupun keluarga disisinya saat itu ia menjemput maut kembali keRahmatulloh pada usianya yang ke 35, setelah mengalami sakit selama beberapa hari, Saat meninggalnya WR Supratman tidak meninggalkan harta sepeserpun, bahkan konon, pakaian yang dipakai waktu meninggal-pun merupakan pinjaman dari kakak iparnya Willem Van Eldick. hanya biola (sekarang disimpan dimuseum Sumpah Pemuda, Jakarta) dan secarik kertas wasiat untuk bangsanya-lah yang menjadi jejak terakhir sebelum ia meninggal, wasiat itu berjudul Selamat Tinggal terdiri dari 7 bait atau bagian :

1. Selamat tinggal Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku.
2. Indonesia Tanah yang berseri, Tanah yang kusayangi.
3. Selamat tinggal bangsaku, marilah kita berseru.
4. Indonesia bersatu, bangsa dan tanah airku.
5. Marilah kita berdoa, Indonesia bahagia.
6. Marilah kita berjanji Indonesia abadi.
7. Hiduplah Indonesia Raya, selamat Tinggal untuk selama2nya.
 7 wasiat inilah sebagai tanda perpisahan dari WR Supratman kepada Tanah Air yang sangat dicintainya, ucapan selamat tinggal dari sang komposer kepada bangsa tercinta.

Melihat isi 7 wasiat ini, hati kami sungguh tersentuh, bagaimana tidak seseorang yang berjasa besar seperti beliau, ketika dalam keadaan melarat, sakit, nasib yang dilupakan orang seperti itu masih ingat tanah airnya, masih mementingkan nasib bangsanya, masih memikirkan masa depan negaranya, ini betul-betul jiwa pahlawan yang patut dicontoh, bagaimana beliau sungguh-sungguh menghayati hubbul wathon minal iman.

————————————————————–
WAGE RUDOLF SUPRATMAN (1903-1938 )

Tempat/ Tgl Lahir : Jatinegara, Jakarta,
Senin Wage, 9 Maret 1903
Tempat/ Tgl Wafat : Jl. Mangga 21, Tambaksari, Surabaya
Rabu Wage, 17 Agustus 1938
Orang Tua : Jumeno Senen Sasto Suharjo dan Siti Senin
Agama : Islam.
Status : Belum menikah.
Saudara : Anak ke 5 dari 6 bersaudara (5 puteri dan 1 putera)
Pendidikan : Klein Amtenaar Examan dan Normaal School
Profesi : Wartawan, guru dan komponis lagu.
KaryaLagu : Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1928), Idonesia Iboekoe (1928), Bendera kita Merah Poetih (1928), Bangoenlah hai kawan (1929), Raden Adjeng Kartini (1929), Mars KBI (Kepandoean Bangsa Indonesia) (1930), Di Timoer Matahari (1931), Mars PARINDRA (1937), Mars Soerya Wirawan (1937), Matahari Terbit (Agustus 1938), Selamat Tinggal (belum selesai) (1938).
Karya Sastra : Perawan Desa (1929), Darah Moeda, Kaoem Panatik.

(Jalan Pincang)






0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites