Nama nya mungkin kalah tenar dengan sederet pahlawan yang telah melegenda lebih dulu di otak kita sejak masa kanak-kanak. Nama sang pahlawan sangat legenda di kalangan prajurit TNI AL. Dialah pioner penyelundupan senjata dari luar untuk memasok peralatan tempur bagi kelompok-kelompok gerilya yang pro republik muda di tahun 1945-an, Indonesia. Untuk mengenalkan semangat patriotisme nya, kami mencoba menulis biografi singkat 'sang penyelundup' dari Sulawesi Utara ini.
Suatu hari di awal tahun 1920-an, Jhon Lie berujar pada teman-teman sepermainan nya, "Nanti saya mau jadi kapten, suatu waktu akan pimpin kapal begini ini,” ucapnya di sambil menunjuk sebuah kapal eskader Angkatan Laut Belanda berlabuh di Manado - Sulawesi Utara saat itu. Ucapan Jhon Lie ini tertuang dalam sebuah buku Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi: Biografi Laksamana Muda John Lie. Maka sejak itu pula minat Jhon Lie kecil terhadap dunia maritim kian meninggi.
John Lie Tjeng Tjoan nama lengkapnya. Ia lahir pada 9 Maret 1911 dari pasangan Lie Kae Tae dan Oei Tseng Nie dan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Setelah menempuh pendidikan di Hollands Chinese School (HCS) lalu Christelijke Lagere School, Jhon Lie muda meninggalkan Manado menuju Batavia (Jakarta) disaat umurnya baru menginjak 17 tahun.
Mengikuti minat nya pada dunia kelautan, di Batavia Jhon Lie bekerja sebagai buruh pelabuhan di sesela kesibukannya ikut kursus navigasi. Ia lalu jadi Klerk Muallim III di KPM (Koninklijk Paketvaart Mattschappij), perusahaan pelayaran Belanda. Setelah beberapa kali pindah kapal, ia bertugas di MV Tosari yang pada Februari 1942 membawanya ke Pangkalan AL Inggris Koramshar di Iran. Saat itu Perang Dunia II sedang berlangsung. MV Tosari dijadikan kapal logistik pendukung armada Sekutu. Awak MV Tosari diberi pelatihan militer.
Waktu Perang Dunia II usai, dan Indonesia meng-proklamirkan kemerdekaan nya pada 17 agustus 1945, Jhon Lie bersama teman-teman nya di Koramshar (Iran) nekad pulang ke Indonesia. “Agar kami dapat berjuang, berbakti bersama kaum pejuang di Indonesia, untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman kami selama ini di medan kelautan,” tulis John Lie.
Hasrat kembali ke Indonesia baru terkabul pada Februari 1946 dengan kapal MV Ophir yang singgah di Singapura terlebih dahulu selama beberapa hari. Selama di Singapura itulah, Ia bersama teman2 seperjuangan nya menyempatkan belajar beragam taktik pertempuran laut serta tehnik penyapuan ranjau laut.
Begitu tiba di Jakarta, Jhon Lie bergabung dengan angkatan laut Republik Indonesia yang baru terbentuk dan ditempatkan di pos pelabuhan Cirebon. Dan sejak itulah, berbagai misi penyelundupan berbahaya mulai dilakukan nya. Misi pertamanya adalah menembus blokade Belanda dengan kapal ML 336. Kapal ini memuat senjata dan amunisi dengan tujuan Labuan Bilik, sebuah kota kecil di Sumatra Timur. Dalam perjalanan kapal ini dikejar kapal patroli dan kepergok pesawat patroli Belanda. Nyaris terjadi kontak senjata. Tapi pesawat patroli Belanda itu tak jadi menembak. Mungkin, menurut John Lie, bahan bakarnya menipis.
Di Labuhan Bilik, ML 366 didaftarkan ke Jawatan Pelayaran dan diberi nomor PPB 31 LB (Pendaftaran Pelabuhan 31 Labuhan Bilik). Seminggu berlabuh, kapal berlayar lagi ke Port Swettenham, Malaya. John Lie dan timnya lalu mendirikan Help Naval Base of The Republic of Indonesia di sana. Sejak itu, ia terus melakukan pelayaran penetrasi blokade Belanda. Ia sempat ditangkap di Singapura tapi pengadilan membebaskannya karena tak terbukti bersalah.
Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan pelayaran John Lie. Bahkan BBC menjuluki kapal John Lie sebagai “The Black Speed Boat”. Kapal PPB 31 LB sendiri oleh Jgon Lie dinamai "The Outlaw" alias si Pelanggar Hukum. Tentu dalam hal ini menentang hukum yang diterapkan oleh sang penjajah Belanda.
John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi. Jaringan ini pula yang memudahkan Jhon Lie dan kawan-kawan nya memperoleh pasokan senjata dan amunisi untuk selanjutnya di sebarkan ke kantong-kantong pejuang.
Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.
Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.
Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.
Satu lagi yang perlu dicatat, meski John Lie adalah penganut Kristen yang taat, dia tak pilih-pilih dalam menjalankan misi penyelundupan senjata dan amunisi bagi kelompok pejuang kemerdekaan. Jhon Lie juga keluar masuk Aceh guna memasok senjata bagi para pejuang Muslim di tanah serambi Mekah tersebut. Ini lah wujud ke-Bhinneka Tunggal Ika-an tersebut. Berbeda-beda tapi tetap satu jua dalam memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Laksamada Muda Jhon Lie Bersama Keluarga Besarnya
Dari sisi ini saja, apa yang dilakukan Jhon Lie bisa menjadi panutan.
Roy Rowan, wartawan majalah Life, mengabadikan kisah perjuangan heroik John Lie dalam “Guns – And Bibbles – Are Smuggled to Indonesia”, yang dimuat Life pada 26 Oktober 1949. Dan pers asing menjuluki John Lie “The Great Smuggler with the Bibble”. Julukan ini merujuk karena dalam misinya, Jhon Lie selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda.
Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.
Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.
Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan Cina.
Indonesia yang hebat Indonesia yang besar. Wilayah nya terbentang luas. Kedaulatan nya sejak dulu sudah diperjuangkan oleh pemuda pemudi nya. Dari berbagai etnis dan dari agama yang berbeda, demi Indonesia yang jaya! Ya, kita memiliki pahlawan nasional Pangeran Diponegoro serta para pejuang kemerdekaan muslim lainnya. Kita juga punya Ngurah Rai dari Bali yang Hindu. Dan Jhon Lie, si China yang nasrani. Semua hanya ingin Indonesia terbebas dari belenggu penjajah!